Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih.
Dari hadits Abdullah bin Umar disebutkan, “Dan bila berselisih, ia berbuat fajir.”
Syara Hadits
1. Definisi Nifaq
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya.
Secara syari’at terbagi dua: Pertama, Nifaq Akbar (Kemunafikan Besar); yaitu upaya seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq (kemunafikan) yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka paling bawah.
Kedua, Nifaq Ashghar (Kemunafikan Kecil); yaitu kemunafikan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara teranga-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.
2. Pokok-Pokok Nifaq
Pokok-pokoknya kembali kepada beberapa sifat yang disebutkan dalam hadits-hadits (yang disebutkan Ibn Rajab dalam syarah Arba’in, termasuk hadits yang kita kaji ini), di antaranya:
1. Seseorang berbicara mengenai sesuatu yang dibenarkan orang lain padahal ia berdusta. Nabi SAW bersabda dalam kitab al-Musnad karya Imam Ahmad, “Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu pembicaraan di mana ia membenarkanmu namun kamu berdusta kepadanya.”
2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini terbagi kepada dua jenis: Pertama, seseorang berjanji padahal di dalam niatannya tidak ingin menepatinya. Ini merupakan pekerti paling buruk.
Kedua, Berjanji pada dirinya untuk menepati janji, kemudian timbul sesuatu, lalu mengingkarinya tanpa alasan. Dalam hadits yang dikeluarkan Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Bila seorang laki-laki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).”
3. Bila berseteru, ia berbuat fajir. Makna fujur adalah keluar dari kebenaran secara sengaja sehingga kebenaran ini menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan dusta sebagaimana sabda Nabi SAW, “Berhati-hatilah terhadap kedustaan, sebab kedustaan dapat menggiring kepada ke-fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya laki-laki yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berseteru dalam kebatilan padahal ia mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam kemurkaan Allah hingga menghadapi sakaratul maut.” Di dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang membantu dalam perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.”
4. Bila berjanji, ia mengkhianati (mengingkari) dan tidak menepatinya. Padahal Allah SWT menyuruh agar menepati janji seraya berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-Nya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91)
Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap pengkhianat akan memiliki panji pengenal pada hari kiamat, lalu dikatakan; inilah pengkhianatan si fulan.”
Mengkhianati setiap perjanjian yang terjadi antara seorang Muslim dan orang lain haram hukumnya sekali pun orang yang diajak berjanji itu adalah seorang kafir.
Oleh karena itu, di dalam riwayat al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Siapa yang membunuh jiwa yang diberi perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya terasa dari jarak perjalanan 40 tahun.”
Tentunya, perjanjian yang terjadi di antara sesama Muslim, harus lebih ditepati lagi dan membatalkannya merupakan dosa besar. Bentuk dosa paling besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan imam (pemimpin negara Islam) yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti dan sudah rela terhadapnya.
Di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat azab yang pedih…” Di dalam hadits ini, beliau SAW menyebutkan salah satu dari mereka, yaitu seorang laki-laki yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya hanya karena dunia; jika ia (sang imam) memberinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ia menepatinya dan bila tidak, maka ia tidak pernah menepatinya.”
Termasuk dalam janji yang wajib ditepati dan haram dikhianati adalah seluruh akad seperti jual beli, pernikahan dan akad-akad lazim yang wajib ditepati, yang terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya. Demikian pula, sesuatu yang wajib ditepati karena Allah SWT dari perjanjian hamba dengan Rabbnya seperti nadzar berbuat kebajikan dan semisalnya.
5. Bila diberi amanah, ia berkhianat. Bila seseorang diberi amanah, maka ia wajib mengembalikannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS.an-Nisa’/4:58)
At-Turmudzi dan Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang beramanah kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu.”
Khianat terhadap amanah merupakan salah satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.[75] Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).[76]Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.[77]” (QS.at-Taubah/9:75-77)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung…..” (QS.al-Ahzab/33:72)
Pokoknya, semua Nifaq Ashghar terpulang kepada adanya perbedaan antara perkara tersembunyi (bathiniah) dan terang-terangan (lahiriah). Al-Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata, ‘Kekhusyu’an nifaq hanya terlihat pada kehusyu’an raga sedangkan hatinya tidak pernah khusyu’.”
‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”
Nifaq Ashghar merupakan sarana melakukan Nifaq Akbar sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan maksiat adalah merupakan ‘kotak pos’ kekufuran.
Bentuk sifat nifaq ‘amali (praktis) yang paling besar adalah manakala seseorang melakukan suatu perbuatan, tampak berniat baik namun ia melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk. Dengan tipuan itu, ia lantas mencapai tujuannya, bergembira dengan makar dan tipuannya sementara orang-orang memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang membuatnya sampai kepada tujuan buruk yang dipendamnya itu.
Manakala di kalangan shahabat telah ditetapkan bahwa nifaq adalah adanya perbedaan antara perkara tersembunyi dan terang-terangan, maka sebagian mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi, kekhusyu’an dan kelembutannya ketika mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an) dengan menoleh dunia dan sibuk dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua akan menjadi salah satu bentuk kemunafikan dari mereka. Karena itu, Rasulullah SAW sampai berkata kepada mereka, “Hal itu bukan termasuk kemunafikan.” (SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314)
|